“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.
Al-Qur’an Untuk Orang Hidup
Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Naml: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
Biar Sederhana Yang Penting Ada Tuntunannya
Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan.
Wallohu a’lam bishshowab.
***
Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Diambil dari : muslim.or.id
Assalamuaikum wrw b , saya baru berapa hari menbaca masalah Yasinan : Bid’ ah Yang dianggap sunnah , dalam terjemahan Surat An – Nahl : 80
” Dan Allh menjadikan bagimu rumah – rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah – rumah ( kemah – kemah ) dari kulit binatang ternak yang merasa kamu ringan ( membawa )nya diwaktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim, dan ( dijadikan – Nya pula ) dari bulu domba , bulu onta , dan bulu kambing alat – alat rumah tangga dan perhiasan ( yang kamu pakai ) sampai waktu ( tertentu ) . Mungkin yang di maksud surat di atas adalah , Terjemahan An – Naml : 80 ” Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang – orang yang mati mendengar dan ( tidak pula ) menjadikan orang – orang yang tuli mendengar panggilan , apabila mereka telah berpaling membelakang . mungkin salah ketik atau itu yang diatas saya minta penjelasan lebih lanjut .
Jzkllhu khoiron
Wss wr. wb
Yasinan Emang Bid’ah, Tapi Bid’ah Ga’ Selamanya Sesat. Kite Bace Qur’an en Ngirimin Pahalanya Pasti Di QOBUL Allah SWT
Jazakallahu khairan katsiran, tulisan ini menggugah kita untuk tidak menjadi Muslim/Muslimah yang taqlid tanpa dalil yang jelas. Mari kita gali terus Ilmu Syariah Islam ini selama kita masih diberi umur oleh Allah SWT. Jangan biarkan kejahilan menguasai kita. Wallahu A’lam Bisshowab.
assalam,,,,,,,,,,,,,emang susah banget ngilangin ke bib’ahan yg ada di masyarakat indonesia ,,,,,,,,,,,,,,
“semua bid’ah adalah sesat dan tiap kesesatan tempatnya di neraka”
Mereka itu seperti binatang ternak yang hanya tau bahasa panggilan mereka, kalau kiranya tidak semua bid’ah itu sesat, berarti tidak semua kesesatan juga berdosa/di neraka.
Mudah2an mereka semua mendapat hidayah/petunjuk dari Allah SWT, tentang cara beragama Islam yang lurus, tidak bengkok2 dan tidak bercampur dengan adat bikinan manusia
bid’ah diperangi habis2an……………..
kekafiran,kemusyrikan,kemunafikan di depan mata diacuhkan begitu saja……………..ADA APA INI????????
MENGKAJI DOANG TANPA APLIKASI NYATA!!!!!!!
itulah semboyan yang tepat untuk antum2 klaimer salafiyyun!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Iman itu memiliki brapa tingkat lbih dari 70 cabang iman. Tepuk dada tanya hati? Di tingkat mana antum brada saat ni ke Imananx…?
yongkru setuju dehh,,
Assalamu’alaikum… Teruntuk sdara qu djoe, apa mksdnya kekafiran, ksyirikan & kmunafikan didpan mata didiamkan? Tlg lbh diperjelas mslh yg antum ktakan.
Klo mmg bnr ada kemungkaran didepan mata, maka dlm mnyikapinya ada tingkatannya jg. Jka pny kekuatan maka nahi mungkar dgn tangan, jka tdk mampu dgn tangan, yaa dgn lisan, dan jka g mampu dgn lisan maka keimanan yg paling rendah adlh dgn hati. Setahu ana, penulis artikel ini dah mnjelaskn slah 1 dari berbagai macam kemungkaran yg disemarakkn olh mayoritas org indonesia.
Melalui tulisannya yg ringkas ini. Adapun membasmi kemunkaran dengan tangan, ya.. Harus yg punya kekuasaan, tdk sembarang orang melihat kemungkaran langsung dibabat abis dengan tangannya.
Man roo’a minkum munkaron fal yughayyiru biyadihi, fa illam yastati’ fa bilisanihi, fa illam yastati’ fa biqolbihi. Wa dzalikal adh’aaful iiman. ‘an shahabat abu sa’id al khudry rodliyallahu ‘anhu.
Hai kamu yang tulis diatas, kamu janganlah sok tau, sok pinter terhadap agama islam, kemudian sok mendiskritkan dan mengklaim selain seperti yang kamu ajarkan adalah SALAH yang bener adalah seperti Aku, janganlah sok Aku, buatlah catatan/tulisan tidak hanya dengan logika tulis tapi sertakan juga dengan qolbun, jangan pernah bermimpi bahwa webmu ini adalah seakan menjadi kiblat semua kebenaran islam, dengan menutup dan tidak mau tahu terhadap keutamaan-keutamaan lain dalam setiap budaya islam di tanah air ini, akankah kamu berkeinginan bahwa islam indonesia haruslah sama dengan islam di negeri-2 Arab sana ??? yang notabene mmg sangatlah berbeda kita dengan mereka utamanya berbudaya, kemudian memaksakan cara dakwanya dengan tangan-2 kekerasan, dengan ucap/tulis yang mendiskritkan, kemudian dengan hati dimana yang sehati saya kumpulin dan yang tidak adalah beda bahkan musuh yang wajib dilawan ??
Banyak-2lah istigfar kawan
Untuk sdr Agus : bbrp catatan atas komentar dr anda:
1. kebenaran bkn hny skdar pengakuan, tp perlu bukti. Dan kbenaran dlm agama memiliki bukti berupa dalil. Mk bg yg merasa berada dlm jalan haq, sdh sepatutny menunjukkan dalil, yg tntuny brdasar pd Al-Qurán dan As-Sunnah yg Sah dgn manhaj shahabat. Dan tdk skdr dgn hati atw qolbu sj, tp dgn dalil. Apakah krn qt kasihan thd seorg yg tlh salah dan hrs dhukum lantas qt tdk menghukumny? Pdhl tlh jelas kslhn org tsb.
2. Apa yg dmksd dgn keutamaan2 lain dlm budaya? Apakh perkara ibadah harus dsesuaikn ke adat atw sebalikny? Jk demikian, mk brp byk nanti org yg sholat dgn bhs msg2? Brp byl org yg bribadah dgn perkara2 syirik? Dan mana cntoh serta dalil dr keutamaan yg anda maksud?
3. Darimana islam berasal? Dr indonesia atw jazirah arob? Apa bhs yg dgunakan Alloh dan RosulNya? bhs indo atw arob? Dimana generasi umat islam terbaik? Indo atw di arob? Namun demikian, yg diikuti bkn arobny, tp islam yg sesuai dalil. Olh krn itu para ulama memberikan kaidah yg agung ttg ibadah dan adat :
HUKUM ASAL IBADAH ADLH TERLARANG, KCWLI YG ADA PERINTAHNYA. HUKUM ASAL MUAMALAH/ADAT/KEBIASAAN ADLH DBOLEHKN, KCWLI YG ADA LARANGANNY.
Dan islam ini tlh smpurna, jd ga perlu ditambah2i dgn syariat baru dan g perlu dikurang2i lg. Islam cocok utk smua umat, smua suku, smua zaman, smua tmpat, Krn Alloh Mahamengetahui akn segala sesuatu, shg Dia tlh menyempurnakn agama ini.
4. Kmudian dr mana anda menyimpulkn bhw saya atw situs ini menyebarkn islam atw brdakwah dgn kekerasan? Dan dr mana bs anda ber-statemen bhw saya mendeskriditkn? Bhkn sdh seharusny anda brkaca diri sblm anda menuntut org lain, yaitu anda harus toleransi thd org yg kontra dgn anda ; anda brkata baik dgn tdk mendiskriditkn saya ; anda menyanggah tulisan diatas dgn dalil bkn cm marah2 sj agar kata2 sok tdk trlempar kpd anda pribadi.
Wallohul musta’an…
Assalamuaikum. wb. Wr
Saya setuju bahwa budaya/ adat istiadat/ tradisi dan sebangsanya tidak bisa diasamakan dengan ISLAM. karena banyak tradisi di masyarakat Indonesia yang bertentangan dengan Agama ISLAM, dan sebagai umat penganut Agama ISLAM yakin seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu bertentangan dengan Agma ISLAM maka kita harus mengikuti Ajaran Agama ISLAM.
Saran saya kepada antum : tolong dicantumkan Hujjah atau dalil yang dijadikan DASAR bahwa membaca surat Yasin bagi orang mati termasuk Bid’ah sehingga lebih jelas
Wassalam
Bid’ah itu sejak zaman ulama salaf dahulu sudah menjadi kontrofensi diantara kalangan ulama, artinya pandangan ulama terhadap bid’ah itu terbagi dua :1) ada yang sayyi’ah dan hasanah dan 2) ada yang sayyiah semuanya. sementara ulama yang menyatakan bid’ah itu ada yang hasanah diantaranya seperti Imam Syafii dalam Thobaqotusyafi’iyyah, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Imam Nawawi, Syeikh Izzudin Ibnu Abdissalam dalam Qowaidul Ahkam
bahkan dari kalangan mazhab hanafi, mazhab maliki, dan syafii, di dalam kitabnya masing-masing, mereka mengakui akan adanya bid’ah hasanah.
mereka berfaham seperti itu karena cara pandang berfikir mereka itu sangat dalam terhadap memahami hadits-hadits Nabi, tidak memahami secara zhohiriyah saja.
Kalau dikatakan semua bid’ah itu semuanya sesat sebagaimana dalam hadits: “semua bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dineraka” tentu tidaklah tepat didalam memahami hadits tersebut. Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata: “ini dalil yang umum yang ditakhsis atau dikhususkan .Tentu hadits ini bersifat Umum, namun keumuman hadits ini dapat ditakhsis dengan dalil yang lain artinya tidak semuanya bid’ah itu sesat, namun ada juga bid’ah yang hasanah sebagaimana imam syafii katakan:”bid’ah itu ada dua terpuji dan tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah maka bid’ah yang terpuji dan apa yang menyalahi sunnah maka bid’ah yang tercela (fathul bari).bahkan syeikh Izzudin Abdussalam mengatakan dalam Qowaidul ahkam “bid’ah itu terbagi lima:Wajib,Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah.dan ini pun telah diakui oleh para ulama seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dll.
Dan jangan difahami dengan ada kalimat “Kullu bid’atin dholalah” pada lafadz kullu ini difahami dengan makna umum atau mutlak. Karena ada firman Allah yang berbunyi” فتحنا عليهم أبواب كل شيء artinya “kami bukakan atas ,mereka ( orang-orang yang ingkar) semua pintu sesuatu (Q.S Al-an’am:44) ”kalimat “kullu dan syai’” itu umum namun bermaksud khusus karena ada pintu yang Allah tidak buka yaitu pintu rahmat buat orang yang ingkar. Begitu juga pada surat alahqof:25:” تدمر كل شيء artinya: angin yang menghancurkan segala sesuatu” lafadz kulla syai’ kalau diartikan secara harfiyyah semuanya hancur, tetapi gunung, langit dan bumi tidak hancur. Dalam surat an-Naml : 23 وأوتيت من كل شيء artinya: dan Ratu Balqis diberikan dari semua sesuatu” pada lafadz kullu syai’ ini pun tidak difahami semuanya diberikan kepada Ratu Balqis, karena singgasana dan kekuasaan yang Allah berikan kepada Nabi Sulaiman tidak diberikan kepada Ratu Balqis. Alhasil tidak semua yang dalil yang menunjukkan ma’na kullu bersifat umum tentu ada pengecualiannya
Coba cermati dalil lain yang dijadikan pegangan oleh ahli tabdi’ yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dari agam kami maka tertolak. HR Muslim.
Syeikh Abdullah alharori dalam Shorihul bayan mengatakan:” kalimat “MA LAYSA MINHU” maksudnya adalah muhdats (perbuatan yang baru) sesungguhnya perbuatan itu tertolak jika menyalahi syari’at, akan tetapi bila perbuatan muhdats itu sesuai dengan syari’at maka tidak tertolak”. Karena mantuq hadits tersebut adalah perbuatan muhdats yang menyalahi syara’ maka tertolak,mafhumnya bila perbuatan muhdats itu tidak menyalahi syara’ maka diterima. Alhasil perbuatan muhdats itu ada yang sesuai dengan syara’ maka disebut bid’ah hasanah, bila perbuatan muhdats itu menyalahi syara’ maka disebut bid’ah dholalah.
Syari’at yang merupakan standar rujukan amal ibadah adalah sesuatu yang telah ditetapkan dari alqur’an,hadits, atsar, dan ijma’. Dengan demikian setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dilarang dalam alqur’an dan hadits lalu disalahi maka itu disebut bid’ah dholalah seperti Shalat zuhur yang empat rokaat lalu dikerjakan lima rokaat, maka disebut bid’ah dholalah. Atau dilarang puasa pada hari tasyriq, lalu dilakukan puasa pada hari tasyriq, maka perbuatan itu disebut bid’ah dholalah dan itu ditolak. Karena bertentangan dengan syari’at. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak ada didalam syari’at maka itu bukan disebut bid’ah apalagi dholalah, hal ini difahami dari teks hadits tersebut sebagai sumber timbulnya pengertian bid’ah. Oleh karena itu bila ada perbuatan yang tidak ada dasarnya baik itu ditetapkan atau ditiadakan, jangan lebih dahulu divonis bahwa itu perbuatan bid’ah dholalah. Lihat dulu apakah ada dalil yang memerintahkannya atau melarangnya, bila tidak ada maka perbuatan itu kembali ke hukum asal yaitu mubah, dan bernilai pahalanya tergantung pada niatnya. Lihatlah dibawah ini beberapa dalil hadits Nabi yang mencontohkan bagaimana perbuatan sahabat yang dilakukan tanpa dasar petunjuk dari Nabi, dan Nabi mensikapinya dengan bijak.
.
dibawah ini dalil-dalil yang mentakhsiskan keumuman hadits diatas Diantaranya:
1. Dari saidina Umar yang berkata “ni’mati bid’atu hadzihi” dasar ini memang sempat dibantah oleh orang-orang tabdi’ dengan mengatakan bahwa shalat berjama’ah sudah ada dimasa rasululloh saw sehingga kata-kata bid’ah yang dilontarkan oleh saidina Umar itu dikatakan bid’ah lughowiyyah. Tapi apakah demikian maksud saidina Umar, kita lihat keterangan para ulama, diantaranya
Ibnu hajar dalam fathul bari mengatakan:”(berkata Umar sebaik-baik bid’ah adalah ini) dalam sebagian riwayat lafadznya” Ni’matil bid’atu” dengan tambahan ta, bid’ah pada asalnya, apa-apa yang di adakan tanpa contoh terlebih dahulu, sementara dalam syara’ yang bertentangan dengan sunnah, maka itu tercela,sebenarnya bahwa bid’ah itu jika masuk dibawah sesuatu yang dipandang bagus pada syara’ maka dia bid’ah hasanah, dan jika masuk dibawah sesuatu yang dipandang buruk oleh syara’ maka bid’ah yang buruk, jika tidak demikian, maka dia termasuk bid’ah yang mubah. Sungguh bid’ah itu terbagi lima macam. Dan perkataan Saidina Umar (dan yang tidur itu lebih utama) ini menjelaskan maksud dari perkataan saidina Umar diatas ( ini sebaik-baik bid’ah) bahwa shalat di akhir malam itu lebih utama dari awal malam”.demikianlah Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Saidina Umar . Dari perkataan Saidina Umar tersebut dapat difahami sbb:
1. shalat yang dilakukan dimasa Nabi itu sebelum tidur atau diawal malam, sementara yang dimasa Saidina Umar itu akhir malam. Jelas apa yang dilakukan Saidina Umar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi.
2. Shalat Jamaah yang dilakukan dimasa Nabi dahulu sempat diberhentikan oleh Nabi setelah Nabi mengetahui sahabatnya ikut shalat, bahkan Nabi tidak menganjurkan, bunyi haditsnya sbb: “ lalu orang-orang dari para sahabat shalat dengan shalatnya Nabi, tatkala Nabi tahu Nabi duduk, dan berkata:”sungguh aku telah tahu dari perbuatanmu, maka shalatlah dirumahmu wahai sahabat. Sungguh shalat yang paling utama adalah shalatnya sesorang dirumahnya , kecuali shalat fardhu”
Dari keterangan tersebut dapat difahami, bahwa Nabi tidak menganjurkan para sahabat untuk shalat berjamaah, bahkan menyuruhnya shalat dirumah, kalau saja Nabi menganjurkan shalat berjama’ah setelah Nabi tahu akan kekhawatirannya diwajibkan shalat tersebut, tentu Nabi menyuruh sahabat yang lain untuk mengerjakan shalat berjama’ah tanpa Nabi, dan diimami oleh sahabat yang lain. Alhasil shalat terawih dengan berjama’ah pada saat Nabi tidak dianjurkan oleh Nabi, akan tetapi Saidina Umar sebaliknya, malah menganjurkan sahabat yang lain untuk shalat terawih dengan satu imam. Inilah yang dimaksud Saidina Umar sebaik-baik bid’ah.
3. Penentuan jumlah rokaat shalat terawih, baik itu11 rokaat seperti riwayat dari Saib bin Yazid atau 20 rokaat seperti riwayat dari Saib Yazid dalam Mushonnaf Abdurrozaq. Sementara dimasa Nabi tidak ada keterangan ketentuan jumlah rokaat dalam shalat terawih, meskipun ada keterangan 11 rokaat dalam shohi bukhori, tapi itu bukan shalat terawih melainkan shalat witir, karena Nabi melakukannya dibulan romadhon dan diluar bulan romadhan.
JADI SEBAIK-BAIK BID’AH ITU ADALAH: DISEBUT BID’AH KARENA PERBUATAN SAIDINA UMAR TIDAK SESUAI DENGAN ANJURAN NABI, DAN DISEBUT BAIK, KARENA SHALAT TERAWIHNYA TELAH DILAKUKAN OLEH RASUL.
2. Hadits Nabi yang berbunyi”siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu” HR Muslim. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim: Hadits ini mentakhsiskan hadits yang berbunyi”setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” dan yang dimaksud hadits ini adalah bid’ah yang tercela. Syeikh Yusuf Said Hasyim Arrifai dalam arrod muhakkam almai’ mengatakan:” hadits ini meskipun datangnya tentang bershodaqoh, namun qo’idah ushul yang telah disepakati”sungguh kalimat yang dii’tibar itu dengan keumuman lafadznya bukan dengan kekhususan pada sebabnya”
3. Hadits yang diriwiyatkan oleh said alkhudri yang dikeluarkan oleh Abu daud dan albany mengatakan hadits ini shohih yaitu” dua orang sahabat melakukan tayamum, lalu ketika ada air kedua sahabat tersebut melakukan perbuatan yang berselisih, yang satu tidak mengulang shalatnya dan yang satu mengulang shalatnya, akhirnya keduanya mengadu kepada Nabi, dan menceritkan halnya kepada Nabi: lalu Nabi menjawab: yang tidak megulang shalatnya telah menjalankan sunnah, sementara yang mengulang shalatnya mendapatkan dua pahala.” alhasil dari hadits ini Nabi tidak pernah melakukan mengulang shalat, namun sahabat yang mengulang melakukan perbuatan yang Nabi tidak lakukan, akan tetapi Nabi mensikapi dengan bijak dan tidak dilarang, bahkan memberikan respon yang baik
4. Hadits dari A’isyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban” bahwa ada seorang laki-laki mengimami shalat membaca surat alikhlas terus, lalu sahabat bertanya kepada Nabi tentang perbuatan orang tersebut, dan Nabi balik bertanya kepada para sahabat, kenapa dia melakukan hal itu? lalu sahabat kembali bertanya kepada orang tersebut, dan dijawab, karena cinta dengan surat alikhlas, lalu sahabat menyampaikan hal itu kepada Nabi lagi, setelah itu Nabi berkata: katakan Allah mencintainya.” alhasil dari hadits ini, sahabat itu tidak melakukan perbuatan sebagimana Nabi lakukan, sehingga Nabi meminta sahabat kembali bertanya lagi, sebab kalau Nabi telah melakukan hal tersebut tentu Nabi tidak akan bertanya lagi. jadi sahabat itu melakukan perbuatan bid’ah. namun bid’ah yang hasanah, karena Nabi tidak melarangnya, sebagaimana difahami oleh mereka ysang membid’ahkan satu perbuatan yang terus-menerus dilakukan
5. Ada hadits dari Qois bin Amer, yang dikeluarkan oleh Abu Daud” bahwa ada seorang laki-laki selesai shalat subuh melakukan shalat sunnah dua rokaat, lalu Nabi berkata: shalat subuh hanya dua rokaat, lalu orang tersebut menjawab, sungguh aku belum shalat qobliyah subuh. lalu Nabi diam dan tidak memarahi, karena orang tersebut melakukan perbuatan yang Nabi tidak pernah lakukan. dimana Nabi biasa melakukan qobliyah subuh sebelum sholat subuh. alhasil (perbuatan orang tersebut bid’ah tapi kebid’ahan tersebut masih bisa dimaaf oleh Nabi) hadits ini dinilai shohih oleh albany
6. Hadits yang diriwayatkan oleh rafi’ azzuraqy, yang dikeluarkan oleh Imam Muslim” ketika Nabi sedang shalat dan bagun dari ruku lalu Nabi mendengar sahabat membaca” robbana walakalhamd hamdan katsiiron thoyyiban mubarokan, lalu setelah shalat Nabi bertanya, siapa yang membaca doa tersebut?lalu orang itu menjawab: saya. lalu Nabi mengomentari dengan baik, tidak melarangnya.” alhasil apakah doa ini pernah dibaca oleh Nabi sebelumnya atau dicontohkan oleh Nabi? tentu belum ada, dan ketika Nabi mendengar sahabat membaca itu Nabi tidak melarang dan tidak berkata kenapa engkau melakukan perbuatan yang aku tidak pernah lakukan? tapi justru Nabi mensikapi dengan bijak. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari: ini menjadi dalil atas bolehnya memperbaharui zikir dalam shalat yang bukan ma’tsur jika tidak menyalahi ma’tsur.
7. Hadits yang dikeluarkan Bukhori, dari Saib bin Yazid: dahulu adzan jum’at awalnya apabila imam duduk di mimbar, pada masa Nabi, Abu Bakar,Umar, tatkala masa Saidina Usman dan orang-orang semakin banyak, maka bertambah adzan jum’at yang ketga di Zaura’ Ibnu Hajar mengatkan dalam fathul bari:” Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Ibnu Umar: berkata: Adzan pertama pada hari jum’at adalah bid’ah, maka bisa jadi itu atas jalan ingkar, dan bisa jadi yang dikehendaki bahwasanya tidak ada pada masa Nabi, dan semua yang tidak ada dimasa Nabi dinamakan bid’ah, tetapi setengahnya ada yang hasanah, dan setengahnya lagi ada yang menyalahi”
8. Dalam Sunan Abu Daud riwayat yang datangnya dari Ibnu Umar bahwa beliau menambahkan zikir dalam tasyahud “Wahdahula syarikalah” dan beliau berkata: saya menambahkannya.
Dan masih banyak lagi perkara yang tidak ada anjurannya dari Nabi, namun dilakukan oleh sahabat, seperti membukukan alqur’an member harkat dan titik pada alqur’an, menulis hadits dan membukukannya padahal nabi sendiri melarang menulis hadits selain alqur’an, membangun madrasah dll. hal seperti ini memang sempat disinggung oleh Syatibi dalam al-I’tishom: bahwa itu bukan disebut bid’ah melainkan masholihul mursalah karena ada maslahatnya. Boleh saja Imam Syatibi mengatakan demikian akan tetapi banyak dikalangan para ulama seperti Syeikh Izzudin Abdussalam dll mereka berpendapat bahwa itu bid’ah yang hasanah, karena bagaimanapun juga satu perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi disebut bid’ah sementar itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. Namun tidalah itu perbuatan yang Nabi larang dengan sebutan sebagai bid’ah dholalah, akan tetapi bid’ah hasanah sebagai perbuatan yang Nabi tidak di contohkan namun dipandang baik
Jadi standar bid’ah yang hasanah adalah setiap perbuatan ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi secara langsung, namun perbuatan itu telah dibenarkan dan disepakati oleh para ulama
Seperti: 1. Peringatan Maulid Nabi saw 2. Peringatan Isra Mi’roj, 3. Berzikir bersama, 4 berdo’a bersama setelah shalat, 5 berjabat tangan setelah shalat/ zikir 6. Membaca surat Yasin bersama-sama, dll.
walaupun ada dalil yang menyatakan dimana Ibnu Mas’ud melarang para sahabat berzikir bersama membaca tasbih, tahmid dan takbir, namun yang menjadi di i’tibar adalah perbuatan Nabi sebagaimana hadits diatas. Nabi tidak melarang sahabat melakukan perbuatan itu meskipun Nabi tidak melakukannya.
Demikian tanggapan ini alfaqir tulis, semoga ada manfaatnya.
Bid’ah itu sejak zaman ulama salaf dahulu sudah menjadi kontrofensi diantara kalangan ulama, artinya pandangan ulama terhadap bid’ah itu terbagi dua :1) ada yang sayyi’ah dan hasanah dan 2) ada yang sayyiah semuanya. sementara ulama yang menyatakan bid’ah itu ada yang hasanah diantaranya seperti Imam Syafii dalam Thobaqotusyafi’iyyah, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Imam Nawawi, Syeikh Izzudin Ibnu Abdissalam dalam Qowaidul Ahkam
bahkan dari kalangan mazhab hanafi, mazhab maliki, dan syafii, di dalam kitabnya masing-masing, mereka mengakui akan adanya bid’ah hasanah.
mereka berfaham seperti itu karena cara pandang berfikir mereka itu sangat dalam terhadap memahami hadits-hadits Nabi, tidak memahami secara zhohiriyah saja.
Kalau dikatakan semua bid’ah itu semuanya sesat sebagaimana dalam hadits: “semua bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dineraka” tentu tidaklah tepat didalam memahami hadits tersebut. Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata: “ini dalil yang umum yang ditakhsis atau dikhususkan .Tentu hadits ini bersifat Umum, namun keumuman hadits ini dapat ditakhsis dengan dalil yang lain artinya tidak semuanya bid’ah itu sesat, namun ada juga bid’ah yang hasanah sebagaimana imam syafii katakan:”bid’ah itu ada dua terpuji dan tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah maka bid’ah yang terpuji dan apa yang menyalahi sunnah maka bid’ah yang tercela (fathul bari).bahkan syeikh Izzudin Abdussalam mengatakan dalam Qowaidul ahkam “bid’ah itu terbagi lima:Wajib,Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah.dan ini pun telah diakui oleh para ulama seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dll.
Dan jangan difahami dengan ada kalimat “Kullu bid’atin dholalah” pada lafadz kullu ini difahami dengan makna umum atau mutlak. Karena ada firman Allah yang berbunyi” فتحنا عليهم أبواب كل شيء artinya “kami bukakan atas ,mereka ( orang-orang yang ingkar) semua pintu sesuatu (Q.S Al-an’am:44) ”kalimat “kullu dan syai’” itu umum namun bermaksud khusus karena ada pintu yang Allah tidak buka yaitu pintu rahmat buat orang yang ingkar. Begitu juga pada surat alahqof:25:” تدمر كل شيء artinya: angin yang menghancurkan segala sesuatu” lafadz kulla syai’ kalau diartikan secara harfiyyah semuanya hancur, tetapi gunung, langit dan bumi tidak hancur. Dalam surat an-Naml : 23 وأوتيت من كل شيء artinya: dan Ratu Balqis diberikan dari semua sesuatu” pada lafadz kullu syai’ ini pun tidak difahami semuanya diberikan kepada Ratu Balqis, karena singgasana dan kekuasaan yang Allah berikan kepada Nabi Sulaiman tidak diberikan kepada Ratu Balqis. Alhasil tidak semua yang dalil yang menunjukkan ma’na kullu bersifat umum tentu ada pengecualiannya
Coba cermati dalil lain yang dijadikan pegangan oleh ahli tabdi’ yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dari agam kami maka tertolak. HR Muslim.
Syeikh Abdullah alharori dalam Shorihul bayan mengatakan:” kalimat “MA LAYSA MINHU” maksudnya adalah muhdats (perbuatan yang baru) sesungguhnya perbuatan itu tertolak jika menyalahi syari’at, akan tetapi bila perbuatan muhdats itu sesuai dengan syari’at maka tidak tertolak”. Karena mantuq hadits tersebut adalah perbuatan muhdats yang menyalahi syara’ maka tertolak,mafhumnya bila perbuatan muhdats itu tidak menyalahi syara’ maka diterima. Alhasil perbuatan muhdats itu ada yang sesuai dengan syara’ maka disebut bid’ah hasanah, bila perbuatan muhdats itu menyalahi syara’ maka disebut bid’ah dholalah.
Syari’at yang merupakan standar rujukan amal ibadah adalah sesuatu yang telah ditetapkan dari alqur’an,hadits, atsar, dan ijma’. Dengan demikian setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dilarang dalam alqur’an dan hadits lalu disalahi maka itu disebut bid’ah dholalah seperti Shalat zuhur yang empat rokaat lalu dikerjakan lima rokaat, maka disebut bid’ah dholalah. Atau dilarang puasa pada hari tasyriq, lalu dilakukan puasa pada hari tasyriq, maka perbuatan itu disebut bid’ah dholalah dan itu ditolak. Karena bertentangan dengan syari’at. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak ada didalam syari’at maka itu bukan disebut bid’ah apalagi dholalah, hal ini difahami dari teks hadits tersebut sebagai sumber timbulnya pengertian bid’ah. Oleh karena itu bila ada perbuatan yang tidak ada dasarnya baik itu ditetapkan atau ditiadakan, jangan lebih dahulu divonis bahwa itu perbuatan bid’ah dholalah. Lihat dulu apakah ada dalil yang memerintahkannya atau melarangnya, bila tidak ada maka perbuatan itu kembali ke hukum asal yaitu mubah, dan bernilai pahalanya tergantung pada niatnya. Lihatlah dibawah ini beberapa dalil hadits Nabi yang mencontohkan bagaimana perbuatan sahabat yang dilakukan tanpa dasar petunjuk dari Nabi, dan Nabi mensikapinya dengan bijak.
.
dibawah ini dalil-dalil yang mentakhsiskan keumuman hadits diatas Diantaranya:
1. Dari saidina Umar yang berkata “ni’mati bid’atu hadzihi” dasar ini memang sempat dibantah oleh orang-orang tabdi’ dengan mengatakan bahwa shalat berjama’ah sudah ada dimasa rasululloh saw sehingga kata-kata bid’ah yang dilontarkan oleh saidina Umar itu dikatakan bid’ah lughowiyyah. Tapi apakah demikian maksud saidina Umar, kita lihat keterangan para ulama, diantaranya
Ibnu hajar dalam fathul bari mengatakan:”(berkata Umar sebaik-baik bid’ah adalah ini) dalam sebagian riwayat lafadznya” Ni’matil bid’atu” dengan tambahan ta, bid’ah pada asalnya, apa-apa yang di adakan tanpa contoh terlebih dahulu, sementara dalam syara’ yang bertentangan dengan sunnah, maka itu tercela,sebenarnya bahwa bid’ah itu jika masuk dibawah sesuatu yang dipandang bagus pada syara’ maka dia bid’ah hasanah, dan jika masuk dibawah sesuatu yang dipandang buruk oleh syara’ maka bid’ah yang buruk, jika tidak demikian, maka dia termasuk bid’ah yang mubah. Sungguh bid’ah itu terbagi lima macam. Dan perkataan Saidina Umar (dan yang tidur itu lebih utama) ini menjelaskan maksud dari perkataan saidina Umar diatas ( ini sebaik-baik bid’ah) bahwa shalat di akhir malam itu lebih utama dari awal malam”.demikianlah Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Saidina Umar . Dari perkataan Saidina Umar tersebut dapat difahami sbb:
1. shalat yang dilakukan dimasa Nabi itu sebelum tidur atau diawal malam, sementara yang dimasa Saidina Umar itu akhir malam. Jelas apa yang dilakukan Saidina Umar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi.
2. Shalat Jamaah yang dilakukan dimasa Nabi dahulu sempat diberhentikan oleh Nabi setelah Nabi mengetahui sahabatnya ikut shalat, bahkan Nabi tidak menganjurkan, bunyi haditsnya sbb: “ lalu orang-orang dari para sahabat shalat dengan shalatnya Nabi, tatkala Nabi tahu Nabi duduk, dan berkata:”sungguh aku telah tahu dari perbuatanmu, maka shalatlah dirumahmu wahai sahabat. Sungguh shalat yang paling utama adalah shalatnya sesorang dirumahnya , kecuali shalat fardhu”
Dari keterangan tersebut dapat difahami, bahwa Nabi tidak menganjurkan para sahabat untuk shalat berjamaah, bahkan menyuruhnya shalat dirumah, kalau saja Nabi menganjurkan shalat berjama’ah setelah Nabi tahu akan kekhawatirannya diwajibkan shalat tersebut, tentu Nabi menyuruh sahabat yang lain untuk mengerjakan shalat berjama’ah tanpa Nabi, dan diimami oleh sahabat yang lain. Alhasil shalat terawih dengan berjama’ah pada saat Nabi tidak dianjurkan oleh Nabi, akan tetapi Saidina Umar sebaliknya, malah menganjurkan sahabat yang lain untuk shalat terawih dengan satu imam. Inilah yang dimaksud Saidina Umar sebaik-baik bid’ah.
3. Penentuan jumlah rokaat shalat terawih, baik itu11 rokaat seperti riwayat dari Saib bin Yazid atau 20 rokaat seperti riwayat dari Saib Yazid dalam Mushonnaf Abdurrozaq. Sementara dimasa Nabi tidak ada keterangan ketentuan jumlah rokaat dalam shalat terawih, meskipun ada keterangan 11 rokaat dalam shohi bukhori, tapi itu bukan shalat terawih melainkan shalat witir, karena Nabi melakukannya dibulan romadhon dan diluar bulan romadhan.
JADI SEBAIK-BAIK BID’AH ITU ADALAH: DISEBUT BID’AH KARENA PERBUATAN SAIDINA UMAR TIDAK SESUAI DENGAN ANJURAN NABI, DAN DISEBUT BAIK, KARENA SHALAT TERAWIHNYA TELAH DILAKUKAN OLEH RASUL.
2. Hadits Nabi yang berbunyi”siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu” HR Muslim. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim: Hadits ini mentakhsiskan hadits yang berbunyi”setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” dan yang dimaksud hadits ini adalah bid’ah yang tercela. Syeikh Yusuf Said Hasyim Arrifai dalam arrod muhakkam almai’ mengatakan:” hadits ini meskipun datangnya tentang bershodaqoh, namun qo’idah ushul yang telah disepakati”sungguh kalimat yang dii’tibar itu dengan keumuman lafadznya bukan dengan kekhususan pada sebabnya”
3. Hadits yang diriwiyatkan oleh said alkhudri yang dikeluarkan oleh Abu daud dan albany mengatakan hadits ini shohih yaitu” dua orang sahabat melakukan tayamum, lalu ketika ada air kedua sahabat tersebut melakukan perbuatan yang berselisih, yang satu tidak mengulang shalatnya dan yang satu mengulang shalatnya, akhirnya keduanya mengadu kepada Nabi, dan menceritkan halnya kepada Nabi: lalu Nabi menjawab: yang tidak megulang shalatnya telah menjalankan sunnah, sementara yang mengulang shalatnya mendapatkan dua pahala.” alhasil dari hadits ini Nabi tidak pernah melakukan mengulang shalat, namun sahabat yang mengulang melakukan perbuatan yang Nabi tidak lakukan, akan tetapi Nabi mensikapi dengan bijak dan tidak dilarang, bahkan memberikan respon yang baik
4. Hadits dari A’isyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban” bahwa ada seorang laki-laki mengimami shalat membaca surat alikhlas terus, lalu sahabat bertanya kepada Nabi tentang perbuatan orang tersebut, dan Nabi balik bertanya kepada para sahabat, kenapa dia melakukan hal itu? lalu sahabat kembali bertanya kepada orang tersebut, dan dijawab, karena cinta dengan surat alikhlas, lalu sahabat menyampaikan hal itu kepada Nabi lagi, setelah itu Nabi berkata: katakan Allah mencintainya.” alhasil dari hadits ini, sahabat itu tidak melakukan perbuatan sebagimana Nabi lakukan, sehingga Nabi meminta sahabat kembali bertanya lagi, sebab kalau Nabi telah melakukan hal tersebut tentu Nabi tidak akan bertanya lagi. jadi sahabat itu melakukan perbuatan bid’ah. namun bid’ah yang hasanah, karena Nabi tidak melarangnya, sebagaimana difahami oleh mereka ysang membid’ahkan satu perbuatan yang terus-menerus dilakukan
5. Ada hadits dari Qois bin Amer, yang dikeluarkan oleh Abu Daud” bahwa ada seorang laki-laki selesai shalat subuh melakukan shalat sunnah dua rokaat, lalu Nabi berkata: shalat subuh hanya dua rokaat, lalu orang tersebut menjawab, sungguh aku belum shalat qobliyah subuh. lalu Nabi diam dan tidak memarahi, karena orang tersebut melakukan perbuatan yang Nabi tidak pernah lakukan. dimana Nabi biasa melakukan qobliyah subuh sebelum sholat subuh. alhasil (perbuatan orang tersebut bid’ah tapi kebid’ahan tersebut masih bisa dimaaf oleh Nabi) hadits ini dinilai shohih oleh albany
6. Hadits yang diriwayatkan oleh rafi’ azzuraqy, yang dikeluarkan oleh Imam Muslim” ketika Nabi sedang shalat dan bagun dari ruku lalu Nabi mendengar sahabat membaca” robbana walakalhamd hamdan katsiiron thoyyiban mubarokan, lalu setelah shalat Nabi bertanya, siapa yang membaca doa tersebut?lalu orang itu menjawab: saya. lalu Nabi mengomentari dengan baik, tidak melarangnya.” alhasil apakah doa ini pernah dibaca oleh Nabi sebelumnya atau dicontohkan oleh Nabi? tentu belum ada, dan ketika Nabi mendengar sahabat membaca itu Nabi tidak melarang dan tidak berkata kenapa engkau melakukan perbuatan yang aku tidak pernah lakukan? tapi justru Nabi mensikapi dengan bijak. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari: ini menjadi dalil atas bolehnya memperbaharui zikir dalam shalat yang bukan ma’tsur jika tidak menyalahi ma’tsur.
7. Hadits yang dikeluarkan Bukhori, dari Saib bin Yazid: dahulu adzan jum’at awalnya apabila imam duduk di mimbar, pada masa Nabi, Abu Bakar,Umar, tatkala masa Saidina Usman dan orang-orang semakin banyak, maka bertambah adzan jum’at yang ketga di Zaura’ Ibnu Hajar mengatkan dalam fathul bari:” Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Ibnu Umar: berkata: Adzan pertama pada hari jum’at adalah bid’ah, maka bisa jadi itu atas jalan ingkar, dan bisa jadi yang dikehendaki bahwasanya tidak ada pada masa Nabi, dan semua yang tidak ada dimasa Nabi dinamakan bid’ah, tetapi setengahnya ada yang hasanah, dan setengahnya lagi ada yang menyalahi”
8. Dalam Sunan Abu Daud riwayat yang datangnya dari Ibnu Umar bahwa beliau menambahkan zikir dalam tasyahud “Wahdahula syarikalah” dan beliau berkata: saya menambahkannya.
Dan masih banyak lagi perkara yang tidak ada anjurannya dari Nabi, namun dilakukan oleh sahabat, seperti membukukan alqur’an member harkat dan titik pada alqur’an, menulis hadits dan membukukannya padahal nabi sendiri melarang menulis hadits selain alqur’an, membangun madrasah dll. hal seperti ini memang sempat disinggung oleh Syatibi dalam al-I’tishom: bahwa itu bukan disebut bid’ah melainkan masholihul mursalah karena ada maslahatnya. Boleh saja Imam Syatibi mengatakan demikian akan tetapi banyak dikalangan para ulama seperti Syeikh Izzudin Abdussalam dll mereka berpendapat bahwa itu bid’ah yang hasanah, karena bagaimanapun juga satu perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi disebut bid’ah sementar itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. Namun tidalah itu perbuatan yang Nabi larang dengan sebutan sebagai bid’ah dholalah, akan tetapi bid’ah hasanah sebagai perbuatan yang Nabi tidak di contohkan namun dipandang baik
Jadi standar bid’ah yang hasanah adalah setiap perbuatan ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi secara langsung, namun perbuatan itu telah dibenarkan dan disepakati oleh para ulama
Seperti: 1. Peringatan Maulid Nabi saw 2. Peringatan Isra Mi’roj, 3. Berzikir bersama, 4 berdo’a bersama setelah shalat, 5 berjabat tangan setelah shalat/ zikir 6. Membaca surat Yasin bersama-sama, dll.
walaupun ada dalil yang menyatakan dimana Ibnu Mas’ud melarang para sahabat berzikir bersama membaca tasbih, tahmid dan takbir, namun yang menjadi di i’tibar adalah perbuatan Nabi sebagaimana hadits diatas. Nabi tidak melarang sahabat melakukan perbuatan itu meskipun Nabi tidak melakukannya.
Demikian tanggapan ini alfaqir tulis, semoga ada manfaatnya. JADI HARGAILAH PENDAPAT ORANG LAIN, SEMUA MEMPUNYAI HUJJAH MASING-MASING. KEBENARAN HAQIQI HANYA PADA ALLAH SWT.
@ Hamba Alloh yg tidak menyebutkan jati diri sebenarnya…. namun Alloh Maha Mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi…
Panjang sekali komentarnya, ane sebagai seorang yang hendak menempuh kebenaran, dimana kebenaran tsb bukan sekedar ada di akal kita semata, namun berdasar pada dalil, mk bagaimana antum mengatakan kullu ada yg umum atw khusus, dr mana antum bisa membedakan syari’at spt itu sedangkan lebih byk ulama mu’tabar yg telah menjabarkan kullu dalam bid’ah tiada yg hasanah, spt imam asy syatibi dll. lalu masuk kemanakah kata “kullu” dalam “kullu nafsin dzaa-iqotul maut” ??? sama spt ttg angin yg menghancurkan semuanya…. coba antum baca tafsir dr berbagai tmpt, antum akan menemukan bhw angin telah diperintahkan olh Alloh utk menghancurkan yg diperintahkan. mk sungguh angin menghancurkan semuanya (kullu) sesuai yg diperintahkan olh Alloh.
sebagai pelengkap :
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
Pembagian bid’ah menjadi idhafiyah dan hakikiyah itu sendiri adalah bid’ah yang tidak pernah terjadi di jaman nabi.
Jika rekan2 salafy/wahabi disaat berargumen senantiasa mengatakan, jika suatu perkara itu baik maka perkara tersebut akan dilakukkan oleh Nabi yang mulia.
Nah sekarang kita lihat, apa halangan yang menyebabkan Nabi yang mulia tidak membagi bid’ah menjadi idhafiyah dan hakikiyah, serta memberikan penjelasan dan contoh secara lebih rinci..??…
Untuk sementara ini pendapat yang saya ambil sebagaimana pendapat ust. luthfi basyori bahwa pembagian bid’ah itu sendiri adalah bid’ah yang tidak pernah terjadi di jaman nabi yang mulia…
ato mungkin rekan2 salafy/wahabi menyimpan riwayat ato hadist yg menunjukkan nabi membagi bid’ah itu sehingga menjadi suatu syariat panduan atas bid’ah…???…bila ya mungkin bisa di share mas/mbak.
jazakallahu khoir…
yang yasinan jalan terus…kalau ada wahabi ninggal DUNIA kita tetap yasinan cuy…
الفاتحة…..
SANA TANYA SAMA AMROZI CS,ENAK NGGA’ DI KIRIMI FATIHAH …..